Baca Juga
Wanita berhijab itu cantik, menurutku. Apalagi dengan hijab yang menjuntai menutupi sebagian besar tubuh. Meskipun aku belum berhijab tapi aku suka sekali melihat wanita-wanita yang berhijab, apalagi berhijab syar’i. Mereka terlihat lebih sopan dan lebih anggun dengan baju lebar dan hijab panjang mereka. Suatu saat aku juga ingin berhijab, bahkan berhijab syar’i seperti Nafisa.
Nafisa temanku. Nafisa memutuskan memakai hijab syar’i sejak sebulan, cantik sekali. Setiap kali Nafisa mematut diri di cermin, aku seringkali merasa iri. Nafisa begitu cantik dengan hijabnya. Teman-temanku juga sering sekali memuji Nafisa karena kecantikan dan cara berpakaiannya yang sopan serta tutur kata Nafisa yang lembut. Setiap kali membicarakan tentang sosok wanita idaman, Nafisa selalu termasuk di dalamnya. Pesona Nafisa dengan hijabnya tersebut akhirnya juga membuatku punya keinginan untuk berhijab.
Namun, saat Nafisa membuatku termotivasi untuk berhijab, Nafisa juga menjadi alasan kenapa aku mengurungkan niatku untuk berhijab. Hal tersebut terjadi saat aku tidak sengaja mendengar hal-hal buruk yang dibicarakan orang tentang Nafisa. Dari semua hal yang digunjingkan orang-orang tentang Nafisa yang paling kuingat adalah tentang kata-kata “munafik” yang ternyata disematkan untuk Nafisa selama ini.
Kenapa Nafisa dibilang munafik?
Nafisa seorang muslimah berhijab syar’i tapi Nafisa punya pacar. Mempunyai pacar sebenarnya lumrah di lingkunganku. Hampir semua kami mempunyai teman laki-laki. Namun hal tersebut sangat tabu jika terjadi pada wanita yang berhijab, apalagi berhijab syar’i.
Selain karena mempunyai pacar. Nafisa juga sering dianggap ekstrim oleh sebahagian orang yang ”menolak” hijab panjang dan bahkan terkadang dicurigai mengikuti aliran-aliran tertentu. Banyak yang menyukai muslimah yang lebih syar’i. Namun tidak sedikit juga sebenarnya yang tidak menyukai wanita yang berhijab syar’i dan kebanyakan datang dari mereka yang tidak berhijab atau yang tidak menyukai hijab syar’i. Sayangnya aku malah lebih terpengaruh pada mereka yang tidak suka.
Nafisa saja yang ibadahnya rajin, tutur katanya baik, tapi tetap menjadi bahan gunjingan orang-orang. Apalagi aku? Aku saja ibadahnya masih bolong-bolong dan tidak tepat waktu. Bicaraku ceplas-ceplos dan sering membuat orang lain tersinggung. Yang paling parah aku punya pacar. Jujur aku belum siap melepas pacarku demi memakai hijab.
Aku menghormati orang yang memakai hijab dan jujur dihatiku aku juga ingin memakainya. Namun membayangkan apa yang akan orang bilang tentang aku yang belum pantas berhijab rasanya aku belum siap. Hijab butuh kesiapan hati. Aku tidak mau menodai hijabku dan membuat wanita berhijab jadi mempunyai citra buruk hanya karena beberapa orang seperti aku yang sebenarnya belum pantas menjadi hijab.
Biarlah hijab menjadi pakaian orang-orang yang sudah benar-benar bersih hatinya, halus lisannya dan baik akhlaknya. Dengan begitu, hijab akan tetap mempunyai citra yang positif. Ya, aku harus menjilbabkan hati dulu baru menghijabkan kepala. Keputusanku sudah final untuk menunda dulu memakai hijab sampai hatiku benar-benar siap.
Beberapa bulan setelahnya, Nafisa mengajakku berbicara. Sepertinya Nafisa akan membicarakan hal yang serius. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa potong kue dan jus buah yang disiapkan Nafisa di meja ruang tamu. Nafisa selalu menyiapkan itu jika kami akan mendiskusikan sesuatu yang serius atau mengerjakan sesuatu yang memakan waktu lama.
“Ini untuk Ara.” ucap Nafisa sambil menyodorkan sebuah bungkusan padaku. Saat aku melihatnya dengan tampang bertanya Nafisa hanya tersenyum sambil mengangguk. Isyarat yang menyuruhku untuk membukanya. Sebuah kerudung. Seperti kuduga. Minggu lalu Nafisa juga memberiku sebuah kerudung tapi aku menolaknya dengan alasan belum siap pakai hijab.
“Fisa benar-benar ingin melihat Ara memakainya. Fisa tahu Ara sudah berniat bukan?” ucap Nafisa sambil mendorong salah satu gelas jus buah untukku. Aku menatap kerudung coklat yang diberikan Fisa lalu mendorongnya kembali ke arah Nafisa.
“Nanti saja Sa, Fisa simpan saja dulu, belum sekarang” ucapku pada Nafisa karena memang aku belum benar-benar siap.
“Tak baik menunda niat baik, Jika Ara sudah niatkan, segerakanlah sebelum ada hal yang membuat niat baik kita berbelok”
Aku bersikukuh pada Nafisa tentang ketidaksiapanku dan menjelaskan padanya alasan-alasan kenapa aku belum mau berhijab. Nafisa mendengarkanku dengan seksama. Setelah aku selesai bicara baru lah Nafisa memandangku sambil tersenyum.
“Ra, Berhijab bukan masalah siap atau tidak. Berhijab adalah kewajiban. Kita tidak boleh punya alibi apapun untuk menundanya. Ara ingat bukan dalil yang sering kita pelajari tentang hijab?. Ara bilang mau menghijabi hati dulu baru menghijabi kepala. Fisa mengerti dengan alasan itu. Ara tidak ingin menodai citra hijab bukan?”
“Fisa dulupun demikian. Fisa disuruh berhijab dan berpakaian lebih baik tapi Fisa tidak merasa pantas. Kenapa? Karena shalat Fisa belum teratur. Ara tahu kenapa Fisa sering digunjingkan? Fisa beritahu Ara suatu rahasia. Fisa pernah hamil diluar nikah”, sampai disitu Nafisa berhenti.
Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut karena beberapa orang memang pernah membahas hal itu namun aku tidak menanyakannya pada Nafisa. Tapi ketika Fisa menceritakanya aku menjadi ingin tahu lebih banyak lagi tentang kebenaran berita itu.
“Hal itu terjadi karena Fisa tidak punya pengontrol diri dalam hidup Fisa. Ketika Fisa belum berhijab Fisa merasa “pantas” berbuat dosa, Fisa santai saja berbohong. Fisa merasa biasa saja ketika disentuh oleh teman laki-laki karena Fisa merasa Fisa bukan orang alim dan tidak harus bertindak sebagai orang alim. "
" Fisa benar-benar hidup penuh kebebasan bahkan sampai kebablasan dan Fisa hamil. Karena suatu kecelakaan kecil, di usia dua bulan, kandungan Fisa keguguran. Beruntung Ayah dan Ibu tidak menghakimi Fisa berlama-lama. Ibu meminta Fisa untuk berpakaian lebih sopan. Fisa yang hampir mencoreng nama baik keluarga menurut. Itulah awal mula Fisa berhijab. Tepatnya dua tahun yang lalu. Fisa berhijab karena terpaksa, demi menutupi aib."
“Ketika Fisa ke kampus, semua melihat perubahan Fisa dengan bahagia dan bangga. Mereka bilang Fisa lebih cantik. Mereka memuji Fisa karena berhijab artinya sholehah. Fisa pun terkenal sebagai gadis muslimah solehah”
“Fisa tidak solehah Ra, tapi hijab yang Fisa mengharuskan Fisa menjadi solehah. Tiap kali Fisa belum shalat, Fisa ingat Fisa sudah berhijab. Fisa malu jika tidak shalat. Ketika Fisa ingin berkata kotor atau berbohong, Fisa ingat kalau Fisa berhijab dan tidak semestinya melakukan hal tersebut. Lama-lama dari yang awalnya pencitraan. Lama-lama menjadi kebiasaan, lama-lama kebiasaan akan berubah jadi kebutuhan iman. Bukan lagi karena alasan-alasan dunia seperti ingin tampil cantik, ingin dipuji, tuntutan orang lain namun akan tumbuh disini, di hati kita sebagai kewajiban kita pada Allah” Nafisa menunjuk dadanya, lalu gantian menunjuk dadaku juga.
Nafisa menatapku sambil tersenyum.
“Sekarang bolehkah Fisa bertanya sesuatu pada Ara?” karena aku masih diam tidak menanggapi apa-apa Fisa memutuskan untuk menanyakan lagi suatu hal padaku.
“Sejak Ara memutuskan menghijabkan hati, sudah sampai mana hati Ara terhijabkan? Berapa lagi kira-kira Fisa menunggu hati Ara bersih?”
Aku menelan ludah. Sudah sampai mana hatiku terhijabi? Apakah hatiku sudah bersih?. Kemarin aku masih membicarakan orang lain. Dua hari yang lalu aku pergi karaoke bersama pacaku, hanya berdua. Tidak, hatiku tidak semakin bersih. Aku merasa hatiku terus terkotori dengan perbuatan-perbuatan yang aku lakukan tanpa ada pengontrol diri. Ditambah lagi dosa-dosaku yang tidak memakai hijab setiap hari.
“Dengan tidak memakai hijab, maka kita otomatis menghindari hati kita dari menjadi bersih sebab kita menabung dosa setiap hari. Dengan menunda memakai hijab maka kita tidak punya pengontrol dalam bersikap. Tidakkah itu yang Ara rasakan?. Kita bahkan terkadang malu mengerjakan amalan sunnah karena takut dibilang sok alim padahal tidak pakai hijab. Benar kan? "
Aku menundukkan wajah. Apa yang diucapkan Nafisa memang benar. Bukannya merasa lebih baik, semakin hari aku semakin jauh saja rasanya dari agama.
“Sebaliknya dengan memakai hijab, maka hijab bisa menjadi salah satu pengendali kita dari melakukan hal-hal yang buruk. Kenapa? Karena orang akan memandang kita sebagai seorang muslimah yang baik, itu sebabnya kita jadi selalu berusaha berbuat baik. Ara tidak perlu harus menunggu menghijabkan hati dulu sebab hijablah nanti yang akan menjaga kita.”
Aku menatap wajah Nafisa yang tersenyum padaku. Nafisa meraih tanganku dan meletakkan kembali hijab tadi di tanganku.
“Bagaimana dengan Zaky?” tanyaku pada Ara, sebab aku memang masih menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, seperti halnya Nafisa yang dulu juga masih berpacaran dengan Fatih.
“Jangan fikirkan apa-apa dulu Ra. Ketika Ara telah memutuskan memakai hijab, Ara pasti tau apa yang harus Ara lakukan. Ara lebih kuat, Ara lebih hebat jadi Fisa yakin Ara bisa melepaskan Zaky lebih cepat”
“Apa yang orang-orang bilang tentang kita, jangan sampai membuat Ara kembali goyah. Ayo sama-sama kita tanamkan niat, kuatkan tekad, dan istiqomah demi akhirat”
Aku menghela nafas dalam-dalam. Benar. Beberapa bulan niat menghijabkan hatiku tidak berhasil. Niat memperbaiki akhlak dulu baru berhijab juga tidak berhasil. Kenapa tidak berhasil, karena memang bukan begitu ternyata seharusnya.
Kini aku berhijab dan hijab perlahan sebagai reminder untuk menjaga hatiku. Mungkin hatiku belum begitu bersih dan masih berlumur dosa tapi semoga semakin lama hijab menutupi tubuhku, semakin banyak pula terhapus dosa-dosaku. [HW/Cerpen By Yefra Desfita Ningsih]
Nafisa temanku. Nafisa memutuskan memakai hijab syar’i sejak sebulan, cantik sekali. Setiap kali Nafisa mematut diri di cermin, aku seringkali merasa iri. Nafisa begitu cantik dengan hijabnya. Teman-temanku juga sering sekali memuji Nafisa karena kecantikan dan cara berpakaiannya yang sopan serta tutur kata Nafisa yang lembut. Setiap kali membicarakan tentang sosok wanita idaman, Nafisa selalu termasuk di dalamnya. Pesona Nafisa dengan hijabnya tersebut akhirnya juga membuatku punya keinginan untuk berhijab.
Bismillah, kuhijabkan hatiku dengan hijab. Photo via islamiclife
Namun, saat Nafisa membuatku termotivasi untuk berhijab, Nafisa juga menjadi alasan kenapa aku mengurungkan niatku untuk berhijab. Hal tersebut terjadi saat aku tidak sengaja mendengar hal-hal buruk yang dibicarakan orang tentang Nafisa. Dari semua hal yang digunjingkan orang-orang tentang Nafisa yang paling kuingat adalah tentang kata-kata “munafik” yang ternyata disematkan untuk Nafisa selama ini.
Kenapa Nafisa dibilang munafik?
Nafisa seorang muslimah berhijab syar’i tapi Nafisa punya pacar. Mempunyai pacar sebenarnya lumrah di lingkunganku. Hampir semua kami mempunyai teman laki-laki. Namun hal tersebut sangat tabu jika terjadi pada wanita yang berhijab, apalagi berhijab syar’i.
Selain karena mempunyai pacar. Nafisa juga sering dianggap ekstrim oleh sebahagian orang yang ”menolak” hijab panjang dan bahkan terkadang dicurigai mengikuti aliran-aliran tertentu. Banyak yang menyukai muslimah yang lebih syar’i. Namun tidak sedikit juga sebenarnya yang tidak menyukai wanita yang berhijab syar’i dan kebanyakan datang dari mereka yang tidak berhijab atau yang tidak menyukai hijab syar’i. Sayangnya aku malah lebih terpengaruh pada mereka yang tidak suka.
Nafisa saja yang ibadahnya rajin, tutur katanya baik, tapi tetap menjadi bahan gunjingan orang-orang. Apalagi aku? Aku saja ibadahnya masih bolong-bolong dan tidak tepat waktu. Bicaraku ceplas-ceplos dan sering membuat orang lain tersinggung. Yang paling parah aku punya pacar. Jujur aku belum siap melepas pacarku demi memakai hijab.
Aku menghormati orang yang memakai hijab dan jujur dihatiku aku juga ingin memakainya. Namun membayangkan apa yang akan orang bilang tentang aku yang belum pantas berhijab rasanya aku belum siap. Hijab butuh kesiapan hati. Aku tidak mau menodai hijabku dan membuat wanita berhijab jadi mempunyai citra buruk hanya karena beberapa orang seperti aku yang sebenarnya belum pantas menjadi hijab.
Biarlah hijab menjadi pakaian orang-orang yang sudah benar-benar bersih hatinya, halus lisannya dan baik akhlaknya. Dengan begitu, hijab akan tetap mempunyai citra yang positif. Ya, aku harus menjilbabkan hati dulu baru menghijabkan kepala. Keputusanku sudah final untuk menunda dulu memakai hijab sampai hatiku benar-benar siap.
***
“Ini untuk Ara.” ucap Nafisa sambil menyodorkan sebuah bungkusan padaku. Saat aku melihatnya dengan tampang bertanya Nafisa hanya tersenyum sambil mengangguk. Isyarat yang menyuruhku untuk membukanya. Sebuah kerudung. Seperti kuduga. Minggu lalu Nafisa juga memberiku sebuah kerudung tapi aku menolaknya dengan alasan belum siap pakai hijab.
“Fisa benar-benar ingin melihat Ara memakainya. Fisa tahu Ara sudah berniat bukan?” ucap Nafisa sambil mendorong salah satu gelas jus buah untukku. Aku menatap kerudung coklat yang diberikan Fisa lalu mendorongnya kembali ke arah Nafisa.
“Nanti saja Sa, Fisa simpan saja dulu, belum sekarang” ucapku pada Nafisa karena memang aku belum benar-benar siap.
“Tak baik menunda niat baik, Jika Ara sudah niatkan, segerakanlah sebelum ada hal yang membuat niat baik kita berbelok”
Aku bersikukuh pada Nafisa tentang ketidaksiapanku dan menjelaskan padanya alasan-alasan kenapa aku belum mau berhijab. Nafisa mendengarkanku dengan seksama. Setelah aku selesai bicara baru lah Nafisa memandangku sambil tersenyum.
“Ra, Berhijab bukan masalah siap atau tidak. Berhijab adalah kewajiban. Kita tidak boleh punya alibi apapun untuk menundanya. Ara ingat bukan dalil yang sering kita pelajari tentang hijab?. Ara bilang mau menghijabi hati dulu baru menghijabi kepala. Fisa mengerti dengan alasan itu. Ara tidak ingin menodai citra hijab bukan?”
“Fisa dulupun demikian. Fisa disuruh berhijab dan berpakaian lebih baik tapi Fisa tidak merasa pantas. Kenapa? Karena shalat Fisa belum teratur. Ara tahu kenapa Fisa sering digunjingkan? Fisa beritahu Ara suatu rahasia. Fisa pernah hamil diluar nikah”, sampai disitu Nafisa berhenti.
Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut karena beberapa orang memang pernah membahas hal itu namun aku tidak menanyakannya pada Nafisa. Tapi ketika Fisa menceritakanya aku menjadi ingin tahu lebih banyak lagi tentang kebenaran berita itu.
“Hal itu terjadi karena Fisa tidak punya pengontrol diri dalam hidup Fisa. Ketika Fisa belum berhijab Fisa merasa “pantas” berbuat dosa, Fisa santai saja berbohong. Fisa merasa biasa saja ketika disentuh oleh teman laki-laki karena Fisa merasa Fisa bukan orang alim dan tidak harus bertindak sebagai orang alim. "
" Fisa benar-benar hidup penuh kebebasan bahkan sampai kebablasan dan Fisa hamil. Karena suatu kecelakaan kecil, di usia dua bulan, kandungan Fisa keguguran. Beruntung Ayah dan Ibu tidak menghakimi Fisa berlama-lama. Ibu meminta Fisa untuk berpakaian lebih sopan. Fisa yang hampir mencoreng nama baik keluarga menurut. Itulah awal mula Fisa berhijab. Tepatnya dua tahun yang lalu. Fisa berhijab karena terpaksa, demi menutupi aib."
“Ketika Fisa ke kampus, semua melihat perubahan Fisa dengan bahagia dan bangga. Mereka bilang Fisa lebih cantik. Mereka memuji Fisa karena berhijab artinya sholehah. Fisa pun terkenal sebagai gadis muslimah solehah”
“Fisa tidak solehah Ra, tapi hijab yang Fisa mengharuskan Fisa menjadi solehah. Tiap kali Fisa belum shalat, Fisa ingat Fisa sudah berhijab. Fisa malu jika tidak shalat. Ketika Fisa ingin berkata kotor atau berbohong, Fisa ingat kalau Fisa berhijab dan tidak semestinya melakukan hal tersebut. Lama-lama dari yang awalnya pencitraan. Lama-lama menjadi kebiasaan, lama-lama kebiasaan akan berubah jadi kebutuhan iman. Bukan lagi karena alasan-alasan dunia seperti ingin tampil cantik, ingin dipuji, tuntutan orang lain namun akan tumbuh disini, di hati kita sebagai kewajiban kita pada Allah” Nafisa menunjuk dadanya, lalu gantian menunjuk dadaku juga.
Nafisa menatapku sambil tersenyum.
“Sekarang bolehkah Fisa bertanya sesuatu pada Ara?” karena aku masih diam tidak menanggapi apa-apa Fisa memutuskan untuk menanyakan lagi suatu hal padaku.
“Sejak Ara memutuskan menghijabkan hati, sudah sampai mana hati Ara terhijabkan? Berapa lagi kira-kira Fisa menunggu hati Ara bersih?”
Aku menelan ludah. Sudah sampai mana hatiku terhijabi? Apakah hatiku sudah bersih?. Kemarin aku masih membicarakan orang lain. Dua hari yang lalu aku pergi karaoke bersama pacaku, hanya berdua. Tidak, hatiku tidak semakin bersih. Aku merasa hatiku terus terkotori dengan perbuatan-perbuatan yang aku lakukan tanpa ada pengontrol diri. Ditambah lagi dosa-dosaku yang tidak memakai hijab setiap hari.
“Dengan tidak memakai hijab, maka kita otomatis menghindari hati kita dari menjadi bersih sebab kita menabung dosa setiap hari. Dengan menunda memakai hijab maka kita tidak punya pengontrol dalam bersikap. Tidakkah itu yang Ara rasakan?. Kita bahkan terkadang malu mengerjakan amalan sunnah karena takut dibilang sok alim padahal tidak pakai hijab. Benar kan? "
Aku menundukkan wajah. Apa yang diucapkan Nafisa memang benar. Bukannya merasa lebih baik, semakin hari aku semakin jauh saja rasanya dari agama.
“Sebaliknya dengan memakai hijab, maka hijab bisa menjadi salah satu pengendali kita dari melakukan hal-hal yang buruk. Kenapa? Karena orang akan memandang kita sebagai seorang muslimah yang baik, itu sebabnya kita jadi selalu berusaha berbuat baik. Ara tidak perlu harus menunggu menghijabkan hati dulu sebab hijablah nanti yang akan menjaga kita.”
Aku menatap wajah Nafisa yang tersenyum padaku. Nafisa meraih tanganku dan meletakkan kembali hijab tadi di tanganku.
“Bagaimana dengan Zaky?” tanyaku pada Ara, sebab aku memang masih menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, seperti halnya Nafisa yang dulu juga masih berpacaran dengan Fatih.
“Jangan fikirkan apa-apa dulu Ra. Ketika Ara telah memutuskan memakai hijab, Ara pasti tau apa yang harus Ara lakukan. Ara lebih kuat, Ara lebih hebat jadi Fisa yakin Ara bisa melepaskan Zaky lebih cepat”
“Apa yang orang-orang bilang tentang kita, jangan sampai membuat Ara kembali goyah. Ayo sama-sama kita tanamkan niat, kuatkan tekad, dan istiqomah demi akhirat”
Aku menghela nafas dalam-dalam. Benar. Beberapa bulan niat menghijabkan hatiku tidak berhasil. Niat memperbaiki akhlak dulu baru berhijab juga tidak berhasil. Kenapa tidak berhasil, karena memang bukan begitu ternyata seharusnya.
Kini aku berhijab dan hijab perlahan sebagai reminder untuk menjaga hatiku. Mungkin hatiku belum begitu bersih dan masih berlumur dosa tapi semoga semakin lama hijab menutupi tubuhku, semakin banyak pula terhapus dosa-dosaku. [HW/Cerpen By Yefra Desfita Ningsih]
Bismillah, Kuhijabkan Ragaku Terlebih Dahulu Sebab Entah Kapan Aku Mampu Menghijabkan Hatiku
4/
5
Oleh
Editor