Baca Juga
Beberapa minggu yang lalu ketika hendak keluar dari rumah, saya mendengar bapak angkringan yang gak jauh dari pintu masuk gang di depan rumah sedang berbicara dengan seseorang. Suara mereka agak nyaring, jadi percakapan bisa saya tangkap dengan jelas.
" Semoga laris ya, permisi," seseorang mengeluarkan suara yang tidak saya kenali siapa pemiliknya.
Rumah saya sekitar 7 meter dari lokasi. Begitu sampai di jalan utama, saya hanya menemukan si bapak penjual angkringan. Juga ada beberapa pemuda yang sedang duduk di lesehan sambil menikmati gorengan dan minuman. Saya pun jalan lurus arah ke pasar bersama keluarga karena ada beberapa perlengkapan yang harus kami beli di Pasar Lempuyangan.
Ketika saya memandang ke depan, sekitar 5 meter dari saya, saya melihat sosok "yang agak aneh". Kiri kanan membawa kantong dan di punggungnya juga ada sebuah plastik putih besar yang bentuknya bulat. Dari jauh saya memahami bahwa plastik itu sepertinya berfungsi sebagai tas.
Terlihat dari belakang kepala seseorang yang dipasang kupluk, pakai jaket hitam tebal, celana dan sendal yang sedikit lusuh. Orang itu seperti kesulitan membawa barang-barangnya. Terlihat berjalan sempoyongan. Saya dan adik mempercepat langkah. Kami mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
Awalnya saya khawatir karena takut orang itu merasa terganggu.Tapi melihat dia jalan terseok-seok, kami memberanikan diri. Saya berjalan di sampingnya dan memandang sambil menyelidik siapakah gerangan. Ternyata seorang bapak tua.
" Bapak mau ke mana,"kata saya
" Sepertinya barang bapak banyak sekali, biar kami bawakan sebagian," belum dijawab saya sudah menambahi
" Oo, saya mau ke suatu tempat tidak jauh dari sini. Saya mau tidur di sana," katanya
" Ini yang dipunggung saya pakaian dan ini kardus untuk alas tidur saya nanti. Ini ringan kok. Tidak apa-apa, tidak usaha dibantu. Saya selalu menenteng ini setiap hari menuju tempat saya numpang tidur,"dia menjelaskan sambil tersenyum.
"Anak orang Sunda ya?" dia bertanya.
" Saya Sumatera pak, "jawab saya.
"Sudah lama di sini, mustinya harus bisa bahasa Jawa," dia berusaha bercanda.
"Iya pak, sudah 5 tahun masih ora iso pak tapi lumayan paham kalau ada yang ngomong,"saya membalas candanya sambil tertawa.
Saya jadi kaget dan tertarik untuk ngobrol terus karena wawasannya cukup luas. Saya akhirnya menyadari bahwa suara bapak ini lah tadi yang saya dengar di angkringan itu, pemilik suara yang mendoakan agar jualan bapak angkringan laris.
Ternyata, bapak itu berasal dari Sukoharjo dan saya kurang menangkap apa, mengapa kenapa dia di sini. Saya merasa tidak enak sampai menanyakan hal itu. Tapi dia bilang setiap hari dia melewati jalan dekat rumah saya dari Alun-Alun Yogyakarta.
"Semoga anak selalu sehat dan murah rezeki," katanya tiba-tiba.
"Amin. Semoga bapak juga," jawab saya dan terharu dia juga mendoakan saya meski ketemu di jalan.
"Oya, saya harus berhenti dan duduk di sana. Saat ini lokasi tidur saya baru dipakai untuk jualan. Kalau pedagang belum pulang, saya belum bisa tidur di sana," tambahnya.
"Semoga sehat selalu dan lancar urusannya nak," katanya sekali lagi menutup pembicaraan.
Sekilas mungkin orang berpikir dia seorang pengemis atau bahkan orang yang kurang waras. Pakaian yang kumal dan kulit yang kotor. Tapi bapak tersebut memiliki prinsip hidup yang kuat dan saya yakin sekali dia akan tersinggung kalau diberi uang. Walaupun tidak punya rumah dan numpang tidur di pasar dengan beralaskan kardus tapi dia tidak memelas dan meminta agar dikasihani.
Dia selalu tersenyum dan merasa sama seperti orang lain. Percaya diri dan tidak seperti orang yang memiliki kekurangan. Cara-caranya berbicara juga "terpelajar". Dia juga mendoakan setiap orang yang ditemui meskipun ia tidak mengenalnya.
Air mata saya sempat berlinang dan kagum sama bapak itu. Meskipun menenteng kardus untuk alas tidur dan menjinjing lemari pakaian plastik tiap hari karena tidak punya tempat tinggal, dia merasa bahagia menjalani bahkan tidak mau dibantu oleh orang lain. Sampai di rumah pun, saya masih ingat dengan kejadian dan pertemuan tersebut.
Tiga hari kemudian, saya berjalan bersama orang tua di lokasi yang sama. Saya melihat ke sebuah toko yang telah tutup dan di sana seorang bapak duduk sambil minum dengan seonggok barang yang terbungkus dengan plastik. Saya memanggil dari jauh dan dia melihat heran.
Setelah berpikir sejenak, dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Ini adalah kedua kalinya saya ketemu dengannya. Orang tua saya sempat berpikir untuk menawari bantuan apa yang bisa kami bantu, misalnya menawarkan salah satu kamar di kontrakan kami. Namun, bapak itu sendiri tidak merasa memerlukan bantuan dari seseorang.
Kadang "dengan melihat penampilan" seseorang dengan pakaian yang kumal dan terlebih ketika mengetahui status seseorang adalah tunawisma atau gelandangan, rasa kasihan itu muncul. Kita berpikir mereka membutuhkan bantuan karena tidak jarang kita melihat "orang yang senada" mengemis dan meminta-minta.
.
Berbeda dengan bapak yang satu ini. Hari ini saya menyadari bahwa masih ada orang yang meski pun luntang lantung di jalanan tapi lebih memilih hidup dengan cara terhormat. Bukannya meminta tapi malah berusaha memberi dengan mendoakan kebaikan untuk setiap orang yang ia jumpai. Kisah inspirasi sederhana ini cukup mengetuk batin saya tentang cara menjalani hidup dengan sukacita.
Memang benar apa yang dikatakan oleh salah seorang kenalan saya bahwa " manisnya hidup itu kita yang tentukan." Meski tidak memiliki poin-poin yang diyakini umum menjadi syarat hidup gembira, seorang bapak tua mengajarkan makna bahwa keindahan hidup ditentukan cara pandang kita.
Bagaimana dengan kita selama ini?
Jika seorang bapak tua gelandangan dapat merasakan manisnya kehidupan dan masih menebarkan manfaat, apakah kita yang punya rumah untuk bernaung begitu sulit bahagia? Mari bersyukur seperti apapun hidup kita. [ HW/Fitzel ]
Pelajaran Sederhana Dari Pengemis Tua Ini Bakal Buat Hidup Lebih Manis dan Bermakna
4/
5
Oleh
Editor