Baca Juga
HIJABERSWORLD.COM---Duhai Sahabatku, sejak lama kita mencari bahagia ke sana ke mari tiada henti. Demi bahagia kita rela tubuh letih tak terperi. Saking rindunya, diri siap sedia berjuang saban hari agar bahagia yang dinanti datang lebih dini. Semangat dijaga agar terus berapi-api. Tak peduli berapa banyak tenaga, waktu, uang dan pengorbanan yang diberi, bahagia itu terus dicari.
Pernahkah kita bertanya di mana kita bisa mendapatkan bahagia?Apakah sesuatu yang kita yakini merupakan sumber bahagia yang sesungguhnya? Atau ketika beberapa “sumber bahagia” yang diyakini berhasil dimiliki, adakah bahagia itu bertahan dalam diri?
Jika bahagia mudah datang lantas pergi kembali, mungkinkah bahagia yang dimiliki tidaklah asli dan semu? Bibir memang tak henti tersenyum, tertawa begitu lepas di depan manusia, semua yang diimpikan sudah terlaksana tetapi kenyamanan dan ketenangan sangat miskin dalam diri. Jika seperti itu yang terjadi, mari sejenak merenung :-)
Hidup yang fokus ke luar diri
Umumnya, orang berpendapat bahwa sumber bahagia itu dari luar diri seperti kekayaan, jabatan, prestasi, ijazah luar negeri dan sebagainya. Makanya, tidak heran kita mengejar semua itu karena kita berpikir ketika memilikinya kita akan bahagia. Tidak salah memimpikan hal-hal tersebut karena kita memerlukannya untuk bertahan hidup, persoalannya adalah mindset dan niat.
Ketika berhasil memiliki semua itu, memang kita akan merasakan gembira, ceria serta senang. Namun, itu bukanlah sumber bahagia yang sebenarnya. Coba kita pikir-pikir kembali, bukankah rasa gembira, bangga, ceria dan senang yang kita rasakan itu terasa kuat hanya diawal-awal pada saat kita berhasil memilikinya. Rasa itu serta nilai semuanya perlahan pudar bahkan menghilang seiring dengan munculnya persoalan dan tantangan hidup yang baru?
Hati-hati, jika fokus hanya untuk mencapai itu saja bisa jadi hanyalah kesenangan dan bahagia yang menipu.
“…dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al Hadiid 57:20)
Ada yang mengejar cinta, awalnya begitu bergelora dan mempesona. Lambat laun karena terbiasa timbul kebosanan dan juga mungkin mati rasa.
Ada yang mengejar harta, banyak dapat awalnya merasa hidup bagai di surga. Lambat laun karena terbiasa sudah kurang berharga.
Ada yang mengejar tahta, awalnya dunia seakan milik sendiri saja karena dipuja-puja tapi lama-lama bisa gila bila tahta sudah tiada.
Ada yang mengejar nama, dikenal di mana-mana awalnya begitu bangga. Lambat laun juga mulai redup dan sirna.
Begitulah, bahagia yang palsu dan dangkal.
Jika benda dan makhluk yang menjadi tujuan serta hawa nafsu yang menjadi kawan, percayalah kenikmatan itu hanya sementara.
Sungguh, jika harta, cinta, tahta, ilmu dan segala sesuatu bermuara kepadaNya, bahagia itu akan terus terasa. Jika Dia yang menjadi tujuan, pasti nikmat itu tiada tara.
“…dan barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan keinginannya, menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya secara melimpahruah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash Sahihah, Syaikh Nashiruddin Al Albani, No.950,2/670)
Loneliness dan emptiness
Semakin hari, semakin sering terdengar orang yang merasa kesepian dan kosong. Hidup terasa hampa dan hambar. Kesepian dan kekosongan di jiwa ini dirasakan oleh berbagai orang dengan latar belakang berbeda. Ada yang bekerja di perusahaan multinasional bahkan international, pendidikan tinggi hingga doktoral dari universitas ternama, hakim serta pengacara ternama, pejabat pemerintahan, dosen dengan prestasi gemilang, ilmuwan yang banyak menghasilkan penelitian dan ada juga orang dari kalangan biasa saja. Penyakit psikologis ini tak hanya terjadi pada orang dengan berbagai profesi tetapi juga lintas usia, keyakinan dan budaya.
Orang-orang disekitarnya memuja pencapaian mereka tetapi mereka sendiri justru merasa ada yang kurang dalam diri dan hidupnya. Pencapaian yang mereka peroleh seakan tidak berarti karena merasa masih ada sesuatu yang belum.
Orang yang merasa seperti ini, termasuk salah satu orang yang bahagianya palsu.Mereka memiliki hal-hal yang luar biasa untuk urusan dunia seperti karier, pendidikan dan lain-lain tetapi tidak ada pencapaian dalam rohani. Itulah mengapa hidupnya gersang kerontang.
Sebagian mereka yang merasakan kesepian dan kekosongan ini kemudian mencari makna hidup dan berhasil merasakan kebahagiaan. Sebagian lagi, mereka larut dalam “kehidupan tanpa makna” dan rentan stress bahkan bunuh diri. Seperti apapun prestasi, kalau hidup kosong dan tidak terasa manisnya berarti yang dimiliki hanyalah bahagia yang menipu.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra'd : 28).
Dada dan pikiran sempit
Bahagia tidaklah terlukis di wajah saja atau senyuman yang manis. Tidak juga ditunjukkan dengan kata-kata bahwa “aku bahagia”. Namun, lebih dari itu, bahagia itu bergetar ke jiwa dan dada menjadi luas seketika. Pikiran tenang. Seolah-olah tidak lagi terpengaruh oleh berbagai hal yang dikhawatirkan. Jika merasa sudah bahagia tetapi dada dan pikiran masih begitu sempit, ini hanyalah bahagia semu.
Diagungkan dan dipuja oleh banyak orang tetapi emosi, kata-kata serta tindakan tidak terjaga. Di luar kelihatan begitu sempurna tetapi di dalam begitu tersiksa. Masih mudah marah, putus asa, kecewa dan lainnya. Ini salah satu pertanda bahwa rasa bahagia itu belum melekat dalam diri karena mungkin hati telah membatu dan keras.
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam membacakan ayat berikut:
“Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az Zumar :22).
Maka ,kami (para sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimanakah caranya mengetahui hati dilapangkan atau dibuka oleh Allah? Beliau menjawab: “Bila hati seseorang sudah masuk kedalamnya Nur (cahaya Iman) maka dia akan menjadi lapang dan terbuka.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah tandanya hati yang terbuka dan lapang itu ya Rasulullah.” Beliau menjawab: “Fokus (pusat) perhatiannya sangat kuat terhadap kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat, dan tumbuh kesadaran yang tinggi terhadap tipu daya kehidupan dunia yang sekarang ini, lalu dia berkerja keras mempersiapkan bekalan menghadapi mati sebelum datangnya mati itu.” (HR. Ibnu Jarir)
Mengutamakan pencitraan
Jika bahagia dihubungkan dengan pencapaian, maka pencapaian yang mana? Orang yang memperjuangkan sesuatu, ingin punya ini itu hanya untuk pencitraan, ketika berhasil memiliki apa yang diharapkan, ya hanya pencitraan yang didapat. Hati dan pikirannya hanya disibukkan oleh bagaimana mempertahankan citranya di depan manusia. Sama sekali tidak pernah berpikir bagaimana dirinya dihadapan Pencipta.
Selama sesuatu belum didasari karena Allah, selama itu hasil yang diperoleh tidak akan mengantar pada bahagia. Berbuat seolah-olah seperti sosok yang baik dan bertanggungjawab, orang paling berhasil, dan sebagainya sementara tidak menemukan kenyamanan dalam hidup, ini bohong dan tipuan belaka. Ditambah kalau cara untuk mencapai sesuatu tidak dengan cara yang baik dan benar. Lengkap sudah kesengsaraan dalam jiwa.
“ Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana ditanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. ” (Q.S. an Nur: 39).
Orang ini sebenarnya tidaklah menipu orang lain tetapi menipu dirinya sendiri. Bahagia tidak akan bertahan lama dalam diri orang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan penilaian “bagus, sukses, mantap, keren” dari manusia serta berlomba-lomba hanya menunjukkan siapa dirinya. Semakin hari, “keakuannya” semakin tinggi sehingga semakin jauhlah jarak antara dirinya dengan Rabb.
Seperti mesin
Setiap orang memiliki impian dan target dalam hidupnya. Namun, sayangnya sebagian besar orang yang kemudian menjadi “budak” dari target-target tersebut. Tanpa disadari mereka seolah-olah seperti mesin.
Mereka bak mesin yang disetel untuk melakukan sesuatu. Melakukan “sesuai yang dirancang” dan terbentuk menjadi pribadi yang “egois” karena setiap harinya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Kadang saking terobsesi dengan impian, hati nurani tidak lagi berfungsi, kepekaan sosial hilang, miskin rasa kasih sayang dan menyepelekan Allah.
Jika engkau telah berubah seperti mesin dan tidak lagi sebagai sosok manusia yang hidup. Jika engkau tidak lagi mengendalikan kehidupan tetapi dikendalikan oleh semua tetek bengek kehidupan, apa yang engkau capai akan jauh dari bahagia.
Bahagia=terwujudnya harapan?
Kapan seseorang bahagia?banyak yang menjawab rasa bahagia ada ketika harapan terwujud. Kalau Allah menjawab doa-doa, kita baru bahagia. Ini berarti, ketika harapan tidak terwujud atau Allah belum mengabulkan doa-doa, sebagian dari kita merasa tidak bahagia, sedih bahkan putus asa.
Jika bahagia bagimu=dengan harapan yang terwujud dan tidak bahagia=harapan yang gagal, ini akan mengantarkanmu pada bahagia yang palsu.
Jika seperti itu pola pikir yang dijaga, sampai kapan pun rasa bahagia tidak akan pernah menetap dalam diri kita. Mengapa? Sebagaimana yang kita alami, hidup ini bergulir dari satu keberhasilan ke keberhasilan berikutnya dan dari kegagalan ke kegagalan berikutnya. Harapan terwujud dan harapan tertunda akan datang silih berganti. Ketika sesuai harapan, bahagia. Ketika kenyataan jauh dari harapan, tidak bahagia. Begitulah seterusnya. Jika seperti ini, bahagia yang kita miliki hanyalah bahagia musiman, bahagia yang digantungkan dengan sesuatu.
Jiwa yang telah mencapaiNya, tidak terpengaruh oleh kesedihan maupun kesenangan, kekayaan maupun kemiskinan, tidak dilemahkan oleh cinta dan penilaian manusia. Orang yang “telah bertemu dengan Tuhannya”, bahagia mereka berada di atas keberhasilan dan kegagalan. Bahagia mereka tidak lagi ditentukan oleh terwujud atau batalnya sebuah harapan.
Jika harapan terwujud, mereka menyadari itu atas kuasaNya bukan atas kepintarannya. Jika harapan tidak terwujud, mereka juga menyadari bahwa Dia belum berkuasa. Jadi, harapan terwujud dan tidak terwujud mereka tetap dekat denganNya. Inilah yang menimbulkan rasa bahagia dan menghilangkan kesedihan.
“Hai hamba-hamba-Ku, tiada ketakutan bagi kamu hari ini dan tiada (pula) kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka orang-orang yang berserah diri." (QS Az Zukhruf: 68 – 69).
Lantas, di mana kebahagiaan yang sejati?
Bahagia adalah rasa dan rasa munculnya dari dalam diri. Di sanalah tempat bersemanyamnya bahagia yang asli. Bahagia yang sejati adalah bahagia yang dirasakan ketika seseorang kembali ke dalam wilayah pribadi. Itulah sebabnya, banyak orang bijak yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidaklah dicari diluar karena ada dalam diri. Sayangnya, kebanyakan orang tidak menyadari.
Kita memberi makan tubuh dan memperjuangkan keinginan-keinginan tapi jarang memberi makan ruh. Raga dan nafsu terpenuhi tetapi jiwa dilanda nestapa. Kita selalu melihat ke luar diri kita, sementara kunci dan tombol bahagia itu ada dalam dada. Itulah mengapa, meskipun ketika memiliki seluruh isi dunia, seseorang tetap tidak akan bahagia selama belum melakukan perjalanan di wilayah ruhani.
Bahagia itu kekal tatkala hati selalu dalam keadaan hidup dan hati yang hidup adalah hati yang tidak berlumur dosa. Dosa membuat hati menjadi keras dan mati sehingga bahagia yang dinanti hanyalah mimpi.Orang yang mendapat hidayah, mereka tidak lagi risau karena urusan dunia. Mereka bahagia karena mesra dengan Tuhannya.
Bahagia itu karena mereka hidup berdasarkan kehendak Tuhan. Tidak lagi hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sementara, orang-orang yang belum bertemu dengan Tuhannya dan memaksakan hidup sesuai dengan kehendaknya, bahagia yang dimiliki hanyalah sandiwara dan sementara.
***
Duhai Sahabatku sesama pencari bahagia, sungguh misteri bahagia yang kita cari. Sebuah misteri yang hanya bisa dijawab dengan mata hati. Sebab, bahagia bukanlah prestasi. Bahagia pun tidak bisa dibeli. Bahagia tidaklah bisa dimiliki di sembarang situasi dan kondisi. Jika kita tahu sumber bahagia itu dekat di sini, akankah penglihatan masih fokus dilayangkan pada yang jauh di sana?
Jika bahagia adalah rasa. Rasa yang sebenarnya kita kejar dan cari adalah "perasaan terbebas" dari kesulitan, ujian dan masalah hidup. Lepas dari rasa khawatir dan ketakutan. Rasa yang lapang, sejuk serta tenteram di dada yang hanya bisa dipunya ketika akrab denganNya.
Wallahu a'lam bishawab.
Sahabatku, semoga kita bukanlah bagian dari kelompok yang mati hatinya. Tidak pula jiwa yang dijauhkan dari cahayaNya. Mari terus berusaha memperbaiki diri kita selangkah demi selangkah dan mudah-mudahan tulisan renungan ini sedikit berguna untuk mewujudkan itu. []
Penulis : Fitria Zelfis
Pernahkah kita bertanya di mana kita bisa mendapatkan bahagia?Apakah sesuatu yang kita yakini merupakan sumber bahagia yang sesungguhnya? Atau ketika beberapa “sumber bahagia” yang diyakini berhasil dimiliki, adakah bahagia itu bertahan dalam diri?
Ilustrasi mengejar dan mencari bahagia. Photo via junipercivic.com
Hidup yang fokus ke luar diri
Umumnya, orang berpendapat bahwa sumber bahagia itu dari luar diri seperti kekayaan, jabatan, prestasi, ijazah luar negeri dan sebagainya. Makanya, tidak heran kita mengejar semua itu karena kita berpikir ketika memilikinya kita akan bahagia. Tidak salah memimpikan hal-hal tersebut karena kita memerlukannya untuk bertahan hidup, persoalannya adalah mindset dan niat.
Ketika berhasil memiliki semua itu, memang kita akan merasakan gembira, ceria serta senang. Namun, itu bukanlah sumber bahagia yang sebenarnya. Coba kita pikir-pikir kembali, bukankah rasa gembira, bangga, ceria dan senang yang kita rasakan itu terasa kuat hanya diawal-awal pada saat kita berhasil memilikinya. Rasa itu serta nilai semuanya perlahan pudar bahkan menghilang seiring dengan munculnya persoalan dan tantangan hidup yang baru?
Hati-hati, jika fokus hanya untuk mencapai itu saja bisa jadi hanyalah kesenangan dan bahagia yang menipu.
“…dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al Hadiid 57:20)
Ada yang mengejar cinta, awalnya begitu bergelora dan mempesona. Lambat laun karena terbiasa timbul kebosanan dan juga mungkin mati rasa.
Ada yang mengejar harta, banyak dapat awalnya merasa hidup bagai di surga. Lambat laun karena terbiasa sudah kurang berharga.
Ada yang mengejar tahta, awalnya dunia seakan milik sendiri saja karena dipuja-puja tapi lama-lama bisa gila bila tahta sudah tiada.
Ada yang mengejar nama, dikenal di mana-mana awalnya begitu bangga. Lambat laun juga mulai redup dan sirna.
Begitulah, bahagia yang palsu dan dangkal.
Jika benda dan makhluk yang menjadi tujuan serta hawa nafsu yang menjadi kawan, percayalah kenikmatan itu hanya sementara.
Sungguh, jika harta, cinta, tahta, ilmu dan segala sesuatu bermuara kepadaNya, bahagia itu akan terus terasa. Jika Dia yang menjadi tujuan, pasti nikmat itu tiada tara.
“…dan barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan keinginannya, menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya secara melimpahruah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash Sahihah, Syaikh Nashiruddin Al Albani, No.950,2/670)
Loneliness dan emptiness
Semakin hari, semakin sering terdengar orang yang merasa kesepian dan kosong. Hidup terasa hampa dan hambar. Kesepian dan kekosongan di jiwa ini dirasakan oleh berbagai orang dengan latar belakang berbeda. Ada yang bekerja di perusahaan multinasional bahkan international, pendidikan tinggi hingga doktoral dari universitas ternama, hakim serta pengacara ternama, pejabat pemerintahan, dosen dengan prestasi gemilang, ilmuwan yang banyak menghasilkan penelitian dan ada juga orang dari kalangan biasa saja. Penyakit psikologis ini tak hanya terjadi pada orang dengan berbagai profesi tetapi juga lintas usia, keyakinan dan budaya.
Orang-orang disekitarnya memuja pencapaian mereka tetapi mereka sendiri justru merasa ada yang kurang dalam diri dan hidupnya. Pencapaian yang mereka peroleh seakan tidak berarti karena merasa masih ada sesuatu yang belum.
Orang yang merasa seperti ini, termasuk salah satu orang yang bahagianya palsu.Mereka memiliki hal-hal yang luar biasa untuk urusan dunia seperti karier, pendidikan dan lain-lain tetapi tidak ada pencapaian dalam rohani. Itulah mengapa hidupnya gersang kerontang.
Sebagian mereka yang merasakan kesepian dan kekosongan ini kemudian mencari makna hidup dan berhasil merasakan kebahagiaan. Sebagian lagi, mereka larut dalam “kehidupan tanpa makna” dan rentan stress bahkan bunuh diri. Seperti apapun prestasi, kalau hidup kosong dan tidak terasa manisnya berarti yang dimiliki hanyalah bahagia yang menipu.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra'd : 28).
Dada dan pikiran sempit
Bahagia tidaklah terlukis di wajah saja atau senyuman yang manis. Tidak juga ditunjukkan dengan kata-kata bahwa “aku bahagia”. Namun, lebih dari itu, bahagia itu bergetar ke jiwa dan dada menjadi luas seketika. Pikiran tenang. Seolah-olah tidak lagi terpengaruh oleh berbagai hal yang dikhawatirkan. Jika merasa sudah bahagia tetapi dada dan pikiran masih begitu sempit, ini hanyalah bahagia semu.
Diagungkan dan dipuja oleh banyak orang tetapi emosi, kata-kata serta tindakan tidak terjaga. Di luar kelihatan begitu sempurna tetapi di dalam begitu tersiksa. Masih mudah marah, putus asa, kecewa dan lainnya. Ini salah satu pertanda bahwa rasa bahagia itu belum melekat dalam diri karena mungkin hati telah membatu dan keras.
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam membacakan ayat berikut:
“Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az Zumar :22).
Maka ,kami (para sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimanakah caranya mengetahui hati dilapangkan atau dibuka oleh Allah? Beliau menjawab: “Bila hati seseorang sudah masuk kedalamnya Nur (cahaya Iman) maka dia akan menjadi lapang dan terbuka.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah tandanya hati yang terbuka dan lapang itu ya Rasulullah.” Beliau menjawab: “Fokus (pusat) perhatiannya sangat kuat terhadap kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat, dan tumbuh kesadaran yang tinggi terhadap tipu daya kehidupan dunia yang sekarang ini, lalu dia berkerja keras mempersiapkan bekalan menghadapi mati sebelum datangnya mati itu.” (HR. Ibnu Jarir)
Mengutamakan pencitraan
Jika bahagia dihubungkan dengan pencapaian, maka pencapaian yang mana? Orang yang memperjuangkan sesuatu, ingin punya ini itu hanya untuk pencitraan, ketika berhasil memiliki apa yang diharapkan, ya hanya pencitraan yang didapat. Hati dan pikirannya hanya disibukkan oleh bagaimana mempertahankan citranya di depan manusia. Sama sekali tidak pernah berpikir bagaimana dirinya dihadapan Pencipta.
Selama sesuatu belum didasari karena Allah, selama itu hasil yang diperoleh tidak akan mengantar pada bahagia. Berbuat seolah-olah seperti sosok yang baik dan bertanggungjawab, orang paling berhasil, dan sebagainya sementara tidak menemukan kenyamanan dalam hidup, ini bohong dan tipuan belaka. Ditambah kalau cara untuk mencapai sesuatu tidak dengan cara yang baik dan benar. Lengkap sudah kesengsaraan dalam jiwa.
“ Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana ditanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. ” (Q.S. an Nur: 39).
Orang ini sebenarnya tidaklah menipu orang lain tetapi menipu dirinya sendiri. Bahagia tidak akan bertahan lama dalam diri orang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan penilaian “bagus, sukses, mantap, keren” dari manusia serta berlomba-lomba hanya menunjukkan siapa dirinya. Semakin hari, “keakuannya” semakin tinggi sehingga semakin jauhlah jarak antara dirinya dengan Rabb.
Seperti mesin
Setiap orang memiliki impian dan target dalam hidupnya. Namun, sayangnya sebagian besar orang yang kemudian menjadi “budak” dari target-target tersebut. Tanpa disadari mereka seolah-olah seperti mesin.
Mereka bak mesin yang disetel untuk melakukan sesuatu. Melakukan “sesuai yang dirancang” dan terbentuk menjadi pribadi yang “egois” karena setiap harinya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Kadang saking terobsesi dengan impian, hati nurani tidak lagi berfungsi, kepekaan sosial hilang, miskin rasa kasih sayang dan menyepelekan Allah.
Jika engkau telah berubah seperti mesin dan tidak lagi sebagai sosok manusia yang hidup. Jika engkau tidak lagi mengendalikan kehidupan tetapi dikendalikan oleh semua tetek bengek kehidupan, apa yang engkau capai akan jauh dari bahagia.
Bahagia=terwujudnya harapan?
Kapan seseorang bahagia?banyak yang menjawab rasa bahagia ada ketika harapan terwujud. Kalau Allah menjawab doa-doa, kita baru bahagia. Ini berarti, ketika harapan tidak terwujud atau Allah belum mengabulkan doa-doa, sebagian dari kita merasa tidak bahagia, sedih bahkan putus asa.
Jika bahagia bagimu=dengan harapan yang terwujud dan tidak bahagia=harapan yang gagal, ini akan mengantarkanmu pada bahagia yang palsu.
Jika seperti itu pola pikir yang dijaga, sampai kapan pun rasa bahagia tidak akan pernah menetap dalam diri kita. Mengapa? Sebagaimana yang kita alami, hidup ini bergulir dari satu keberhasilan ke keberhasilan berikutnya dan dari kegagalan ke kegagalan berikutnya. Harapan terwujud dan harapan tertunda akan datang silih berganti. Ketika sesuai harapan, bahagia. Ketika kenyataan jauh dari harapan, tidak bahagia. Begitulah seterusnya. Jika seperti ini, bahagia yang kita miliki hanyalah bahagia musiman, bahagia yang digantungkan dengan sesuatu.
Jiwa yang telah mencapaiNya, tidak terpengaruh oleh kesedihan maupun kesenangan, kekayaan maupun kemiskinan, tidak dilemahkan oleh cinta dan penilaian manusia. Orang yang “telah bertemu dengan Tuhannya”, bahagia mereka berada di atas keberhasilan dan kegagalan. Bahagia mereka tidak lagi ditentukan oleh terwujud atau batalnya sebuah harapan.
Jika harapan terwujud, mereka menyadari itu atas kuasaNya bukan atas kepintarannya. Jika harapan tidak terwujud, mereka juga menyadari bahwa Dia belum berkuasa. Jadi, harapan terwujud dan tidak terwujud mereka tetap dekat denganNya. Inilah yang menimbulkan rasa bahagia dan menghilangkan kesedihan.
“Hai hamba-hamba-Ku, tiada ketakutan bagi kamu hari ini dan tiada (pula) kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka orang-orang yang berserah diri." (QS Az Zukhruf: 68 – 69).
Lantas, di mana kebahagiaan yang sejati?
Bahagia adalah rasa dan rasa munculnya dari dalam diri. Di sanalah tempat bersemanyamnya bahagia yang asli. Bahagia yang sejati adalah bahagia yang dirasakan ketika seseorang kembali ke dalam wilayah pribadi. Itulah sebabnya, banyak orang bijak yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidaklah dicari diluar karena ada dalam diri. Sayangnya, kebanyakan orang tidak menyadari.
Kita memberi makan tubuh dan memperjuangkan keinginan-keinginan tapi jarang memberi makan ruh. Raga dan nafsu terpenuhi tetapi jiwa dilanda nestapa. Kita selalu melihat ke luar diri kita, sementara kunci dan tombol bahagia itu ada dalam dada. Itulah mengapa, meskipun ketika memiliki seluruh isi dunia, seseorang tetap tidak akan bahagia selama belum melakukan perjalanan di wilayah ruhani.
Bahagia itu kekal tatkala hati selalu dalam keadaan hidup dan hati yang hidup adalah hati yang tidak berlumur dosa. Dosa membuat hati menjadi keras dan mati sehingga bahagia yang dinanti hanyalah mimpi.Orang yang mendapat hidayah, mereka tidak lagi risau karena urusan dunia. Mereka bahagia karena mesra dengan Tuhannya.
Bahagia itu karena mereka hidup berdasarkan kehendak Tuhan. Tidak lagi hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sementara, orang-orang yang belum bertemu dengan Tuhannya dan memaksakan hidup sesuai dengan kehendaknya, bahagia yang dimiliki hanyalah sandiwara dan sementara.
***
Duhai Sahabatku sesama pencari bahagia, sungguh misteri bahagia yang kita cari. Sebuah misteri yang hanya bisa dijawab dengan mata hati. Sebab, bahagia bukanlah prestasi. Bahagia pun tidak bisa dibeli. Bahagia tidaklah bisa dimiliki di sembarang situasi dan kondisi. Jika kita tahu sumber bahagia itu dekat di sini, akankah penglihatan masih fokus dilayangkan pada yang jauh di sana?
Jika bahagia adalah rasa. Rasa yang sebenarnya kita kejar dan cari adalah "perasaan terbebas" dari kesulitan, ujian dan masalah hidup. Lepas dari rasa khawatir dan ketakutan. Rasa yang lapang, sejuk serta tenteram di dada yang hanya bisa dipunya ketika akrab denganNya.
Wallahu a'lam bishawab.
Penulis : Fitria Zelfis
Renungan : Jangan-Jangan Yang Selama Ini Dicari dan Dikejar Hanyalah Kebahagiaan Palsu
4/
5
Oleh
Editor