Baca Juga
Sebenarnya aku adalah orang yang sangat mudah kasihan dan tersentuh. Apalagi melihat orang-orang yang kurang beruntung seperti pedagang asongan,pedagang sayur, tukang sol sepatu hingga pengemis. Mungkin karena aku juga bukan dari keluarga yang hidup berkecukupan. Aku pernah merasakan kehidupan di titik-titik yang paling susah sehingga aku seperti merasakan apa yang mereka rasakan.
Itulah sebabnya, meskipun tidak dengan jumlah yang besar aku selalu menyisihkan sedikit rezeki untuk kusedekahkan pada pengemis-pengemis yang sering kutemui di jalan atau yang langsung datang mengetuk-ngetuk pintu rumah.
Namun suatu hari kebiasaanku untuk berbagi dirusak oleh suatu peristiwa. Jangankan untuk berbagi lagi untuk masa yang akan datang, rezeki yang keberikan sebelum-sebelumnya bahkan kusesali.
Begini ceritanya. suatu hari aku kami kedatangan sepasang pengemis di kampus. Mereka sebenarya belum telalu tua, masih sehat namun mungkin karena mencari pekerjaan susah dan mereka tidak punya keahlian khusus, maka akhirnya jatuhlah pilihan pada mengemis. Menengadahkan tangan membuang jauh-jauh rasa malu demi bisa makan. Ditambah lagi suami ternyata buta, itu sebabnya sang istri menemani untuk menunjukkan jalan.
Kami tanpa fikir panjang langsung mengumpulkan uang untuk diberikan pada mereka. Kebetulan saat itu kami sedang beramai-ramai koridor kampus menjelang ujian dimulai. Ada yang memberikan seribuan, dua ribuan, bahan ada pula yang memberi pecahan 10 ribu. Sekitar 63.000 rupiah berhasil terkumpul waktu itu untuk kami berikan pada sang pengemis.
Pengemis tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali dan tidak lupa pula mendoakan supaya kami ujian dengan sukses. Kami pun menyahutnya dengan mengucap Amin serentak. Kami selalu bahagia ketika bisa membantu orang lain. Pengemis itupun dengan langkah yang tertatih-tatih di bimbing istrinya lalu pergi menuju tempat lain.
Si Ibu yang biasanya jalannya agak tertatih itupun berjalan dengan normal sebagaimana orang yang sehat lainnya. Saat seorang teman menawari aku tumpangan aku pun memutuskan ikut agar cepat sampai pada pengemis tersebut. Tapi tahukah Sobat apa yang aku lihat? Mereka sedang menghitung uang hasil mengemisnya hari ini. Lho bukankah si bapak pengemis tersebut buta? Tidak. Dia ternyata hanya berpura-pura buta. Bukankah si Ibu biasanya berjalan sedikit pincang dan tertatih-tatih? Tidak beliau hanya sedang menarik belas kasihan.
Ternyata mereka selama ini bohong. Mereka menjadikan kekurangan untuk mendapatkan belas kasihan. Hal yang lebih parahnya mereka membuat-buat “kekurangan” agar orang lain iba. Tidak hanya pengemis itu saja, besoknya aku menonton sebuah acara di televisi yang menayangkan tentang hal-hal yang tertangkap oleh CCTV.
Dalam CCTV tersebut mulanya terdapat seorang pengemis yang sedang duduk di depan sebuah ruko. Pengemis tersebut kakinya “buntung” karena bagian celananya di ujung terlihat kosong. Lalu tiba-tiba datang segerombolan orang yang diduga preman yang sedang tawuran.
Apa yang terjadi? CCTV menangkap dan membongkar kebohongan pengemis tersebut. Saat gerombolan preman tersebut datang, dia lari terpingkal-pingkal. Dia tidak buntung. Dia punya kaki yang bisa membuatnya tidak hanya berjalan namun berlari. Hal itu membuatku merasa dibohongi. Mereka memanfaatkan rasa simpati dan belas kasihan orang-orang untuk mendapatkan uang. Mereka masih sehat dan sebenarnya sanggup bekerja. Namun rasa malas membuat mereka akhirnya malah berpura-pura.
Rasanya tidak adil melihat mereka yang masih sehat namun mudah saja mendapatkan uang dengan memanipulasi keadaan dengan tujuan mendapatkan belas kasihan, sedangkan masih banyak mereka yang sudah sangat tua, mempunyai cacat namun bekerja dengan begitu keras tanpa meminta belas kasihan bahkan menolak untuk dikasihani.
Merasa tertipu dan dibohongi seperti itu, aku mulai malas untuk berbagi dengan para pengemis tersebut. Aku yang semula kasihan pada semua pengemis, sekarang malah melihat mereka sebagai penipu. Akibatnya, aku tidak lagi meneruskan kebiasaanku bersedekah pada pengemis. Termasuk pada pengemis yang sering datang ke rumahku maupun pengemis-pengemis yang kutemui di jalan. Bagiku akhirnya mereka sama saja, penipu yang pemalas.
Hingga pada suatu hari, seorang pengemis datang lagi ke rumahku. Pengemis yang sama yang telah datang ke rumahku setiap dua kali seminggu. Setelah beberapa hari tidak mendapat apa-apa, sebelumnya bapak tersebut memang telah tiga minggu tidak lagi singgah ke rumahku. Hingga suatu hari dia datang lagi. Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak memberinya. Aku lelah berbohong dan tidak tega juga sebenarnya.
Saat pengemis tersebut mengetuk pintu dan mengucapkan salam Aku diam saja, aku malah mematikan TV dan masuk ke kamar. Setelah mengucapkan salam tiga kali dan tidak kusahuti, kuintip dari nako pengemis tersebut akhirnya pergi. Kulihat jalannya sempoyongan sekali sambil meraba-raba jalan dengan tongkatnya.
Ya, sejauh yang aku kenal dulu Bapak tersebut memang buta tapi jalannya normal. Aku sedikit khawatir, jangan-jangan Bapak pengemis tersebut sedang sakit. Bagaimana kalau dia memang belum makan? Aku segera berlari ingin membuka pintu dan memberi sedikit rezeki pada beliau.
Namun tiba-tiba fikiran buruk kembali merasukiku. “Ah jalan sempoyongan, paling modus ucapku dalam hati, jangan-jangan dia juga sebenarnya tidak buta.” Aku urung menutup membuka pintu dan kembali ke kamar.
Beberapa jam kemudian, aku mendengar sebuah berita ditemukannya seorang pengemis sedang terkapar di tepi jalan. Dari cerita yang kudengar. Pengemis tersebut buta dan sedang kelaparan karena tidak makan selama 4 hari. Dadaku langsung berdetak kencang. Jangan-jangan dia adalah pengemis yang sering datang ke rumahku dan beberapa hari ini telah kuabaikan. Setelah kutanya ciri-cirinya ternyata benar. Terbersit sebuat pertanyaan.
“Apa dia benar-benar buta?" tanyaku pada temanku.
Temanku tersebut memandangku dengan sedikit heran.
“Ya, dia buta. Kenapa kamu bertanya apa dia benar-benar buta? Kamu kira dia bohong? Ya Allah Fira, jangan-jangan kamu sama saja dengan kebanyakan orang yang menganggap semua pengemis itu berbohong?”
“Memang begitu yang banyak kulihat Naya, itu kenapa aku sudah mulai malas memberi sedekah pada mereka. Jangan-jangan mereka hanya modus, pura-pura karena pemalas” ucapku membela diri.
“Astaga Fira, mau bersedekah saja kok su’uzhon sih? Mungkin ada yang seperti itu, namun hal tersebut jangan merusak kebiasaan baikmu untuk bersedekah Fir. Buang jauh-jauh anggapan tersebut. Niatkan saja untuk bersedekah”
“ Tapi Naya, bagaimana kalau mereka sebenarnya berkecukupan, bagaimana kalau sedekah kita salah sasaran?”
“Jika kau fikirkan bagaimana-bagaimana maka akan banyak hal-hal negatif yang terfikirkan Fira. Banyak sekali. Jangankan yang pura-pura yang benar-benar punya cacatpun bisa kamu curigai. Akibatnya? Niat baik bersedekah akan gagal. Kesempatan untuk menabung akhiratpun jadi terlewatkan”
Aku diam saja. Memang sejak anggapan dan persepsi pengemis modus tersebut merasuk di fikiranku,aku memang tidak lagi pernah bersedekah. Ada yang minta sumbangan di angkutan umum untuk keperluan sosial aku curiga jangan-jangan hanya kedok dan uangnya sebenarnya untuk kepentingan pribadi. Ada yang minta sumbangan pembangunan mesjid ataupun bencana alam aku tidak acuh. Jangan-jangan hanya modus. Karena fikiran negatif tersebut akhirnya aku benar-benar tidak pernah lagi bersedekah.
“Bukankah ini punyamu?” Saat aku tertegun Naya mengagetkanku dengan menyodorkan sebuah bundelan kertas padaku. Kertas-kertas itu merupakan makalahku yang sudah kubuang di tempat sampah depan rumah agar dibawa tukang sampah.
“Ya, aku membuangnya pagi ini, kau dapat darimana?” Tanyaku heran.
“Bapak pengemis tadi yang membawanya. Berarti yang dibicarakan pengemis itu adalah kamu Fira, astaga Fira? Apa yang telah kau lakukan padanya?”
“Apa maksudmu Nay?”
“Dia tidak sepenuhnya mengemis Fira. Kau pernah bilang padaku bahwa kau heran tidak pernah ada tukang sampah yang mampir untuk meminta bayaran sampah padamu bukan? Sedangkan setiap pagi tong sampahmu selalu bersih? Dia Fira, pengemis itu yang melakukannya. Dia tidak mengemis sepenuhnya padamu. Dia menjadi tukang sampahmu dan mengambil sedikit upah dari itu. Beberapa hari ini dia bilang tidak mendapatkan apa-apa dan kelaparan.”
Tubuhku gemetar. Dalam kondisi ini justru akulah pemeran antagonisnya. Fikiran su’uzhon benar tersebut benar-benar telah membuat aku menjadi orang jahat. Bapak tersebut bahkan sebenarnya bukanlah pengemis. Dia membersihkan sampahku setiap pagi dan sekalian membawanya ke tempat sampah dan aku hanya memberinya paling banyak dua ribuan untuk itu.
Dari informasi yang kudapat dari orang-orang aku akhirnya juga tahu kalau sebenarnya Bapak tersebut punya seorang anak lumpuh yang harus dihidupinya dirumahnya yang hanya gubuk 2 x 3 meter. Bapak tersebut beberapa kali mencoba bekerja apa saja, baik itu jadi buruh, tukang sapu dan berbagai pekerjaan berat lainnya, namun matanya yang buta dan fisiknya yang sangat lemah tidak memungkinkan.
Jalan sempoyongan Bapak yang kulihat beberapa yang lalu bukan modus. Bapak tersebut juga tidak sedang pura-pura buta. Dia juga bukannya pemalas yang tidak berusaha melakukan pekerjaan lain. Aku saja yang terlalu su’uzhon. Hingga bersedekahpun kutinggalkan. Betapa berdosa dan menyesal diri ini. [HW/Cerpen by Yefra Defita Ningsih]
Itulah sebabnya, meskipun tidak dengan jumlah yang besar aku selalu menyisihkan sedikit rezeki untuk kusedekahkan pada pengemis-pengemis yang sering kutemui di jalan atau yang langsung datang mengetuk-ngetuk pintu rumah.
Seorang pengemis tua. Photo via says.com
Namun suatu hari kebiasaanku untuk berbagi dirusak oleh suatu peristiwa. Jangankan untuk berbagi lagi untuk masa yang akan datang, rezeki yang keberikan sebelum-sebelumnya bahkan kusesali.
Begini ceritanya. suatu hari aku kami kedatangan sepasang pengemis di kampus. Mereka sebenarya belum telalu tua, masih sehat namun mungkin karena mencari pekerjaan susah dan mereka tidak punya keahlian khusus, maka akhirnya jatuhlah pilihan pada mengemis. Menengadahkan tangan membuang jauh-jauh rasa malu demi bisa makan. Ditambah lagi suami ternyata buta, itu sebabnya sang istri menemani untuk menunjukkan jalan.
Kami tanpa fikir panjang langsung mengumpulkan uang untuk diberikan pada mereka. Kebetulan saat itu kami sedang beramai-ramai koridor kampus menjelang ujian dimulai. Ada yang memberikan seribuan, dua ribuan, bahan ada pula yang memberi pecahan 10 ribu. Sekitar 63.000 rupiah berhasil terkumpul waktu itu untuk kami berikan pada sang pengemis.
Pengemis tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali dan tidak lupa pula mendoakan supaya kami ujian dengan sukses. Kami pun menyahutnya dengan mengucap Amin serentak. Kami selalu bahagia ketika bisa membantu orang lain. Pengemis itupun dengan langkah yang tertatih-tatih di bimbing istrinya lalu pergi menuju tempat lain.
***
Esok harinya aku melihat lagi pengemis yang sama. Pengemis tersebut berjalan menuju gerbang kampus. Kebetulan hari ini aku belum bersedekah jadi aku mempercepat langkah untuk mengejar mereka sekedar berbagi dua ribu rupiah. Tapi ada yang aneh dengan mereka. Sampai di titik yang agak sepi sebelum sampai gerbang si wanita terlihat melepaskan tangan pasangannya.Si Ibu yang biasanya jalannya agak tertatih itupun berjalan dengan normal sebagaimana orang yang sehat lainnya. Saat seorang teman menawari aku tumpangan aku pun memutuskan ikut agar cepat sampai pada pengemis tersebut. Tapi tahukah Sobat apa yang aku lihat? Mereka sedang menghitung uang hasil mengemisnya hari ini. Lho bukankah si bapak pengemis tersebut buta? Tidak. Dia ternyata hanya berpura-pura buta. Bukankah si Ibu biasanya berjalan sedikit pincang dan tertatih-tatih? Tidak beliau hanya sedang menarik belas kasihan.
Ternyata mereka selama ini bohong. Mereka menjadikan kekurangan untuk mendapatkan belas kasihan. Hal yang lebih parahnya mereka membuat-buat “kekurangan” agar orang lain iba. Tidak hanya pengemis itu saja, besoknya aku menonton sebuah acara di televisi yang menayangkan tentang hal-hal yang tertangkap oleh CCTV.
Dalam CCTV tersebut mulanya terdapat seorang pengemis yang sedang duduk di depan sebuah ruko. Pengemis tersebut kakinya “buntung” karena bagian celananya di ujung terlihat kosong. Lalu tiba-tiba datang segerombolan orang yang diduga preman yang sedang tawuran.
Apa yang terjadi? CCTV menangkap dan membongkar kebohongan pengemis tersebut. Saat gerombolan preman tersebut datang, dia lari terpingkal-pingkal. Dia tidak buntung. Dia punya kaki yang bisa membuatnya tidak hanya berjalan namun berlari. Hal itu membuatku merasa dibohongi. Mereka memanfaatkan rasa simpati dan belas kasihan orang-orang untuk mendapatkan uang. Mereka masih sehat dan sebenarnya sanggup bekerja. Namun rasa malas membuat mereka akhirnya malah berpura-pura.
Rasanya tidak adil melihat mereka yang masih sehat namun mudah saja mendapatkan uang dengan memanipulasi keadaan dengan tujuan mendapatkan belas kasihan, sedangkan masih banyak mereka yang sudah sangat tua, mempunyai cacat namun bekerja dengan begitu keras tanpa meminta belas kasihan bahkan menolak untuk dikasihani.
Merasa tertipu dan dibohongi seperti itu, aku mulai malas untuk berbagi dengan para pengemis tersebut. Aku yang semula kasihan pada semua pengemis, sekarang malah melihat mereka sebagai penipu. Akibatnya, aku tidak lagi meneruskan kebiasaanku bersedekah pada pengemis. Termasuk pada pengemis yang sering datang ke rumahku maupun pengemis-pengemis yang kutemui di jalan. Bagiku akhirnya mereka sama saja, penipu yang pemalas.
Hingga pada suatu hari, seorang pengemis datang lagi ke rumahku. Pengemis yang sama yang telah datang ke rumahku setiap dua kali seminggu. Setelah beberapa hari tidak mendapat apa-apa, sebelumnya bapak tersebut memang telah tiga minggu tidak lagi singgah ke rumahku. Hingga suatu hari dia datang lagi. Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak memberinya. Aku lelah berbohong dan tidak tega juga sebenarnya.
Saat pengemis tersebut mengetuk pintu dan mengucapkan salam Aku diam saja, aku malah mematikan TV dan masuk ke kamar. Setelah mengucapkan salam tiga kali dan tidak kusahuti, kuintip dari nako pengemis tersebut akhirnya pergi. Kulihat jalannya sempoyongan sekali sambil meraba-raba jalan dengan tongkatnya.
Ya, sejauh yang aku kenal dulu Bapak tersebut memang buta tapi jalannya normal. Aku sedikit khawatir, jangan-jangan Bapak pengemis tersebut sedang sakit. Bagaimana kalau dia memang belum makan? Aku segera berlari ingin membuka pintu dan memberi sedikit rezeki pada beliau.
Namun tiba-tiba fikiran buruk kembali merasukiku. “Ah jalan sempoyongan, paling modus ucapku dalam hati, jangan-jangan dia juga sebenarnya tidak buta.” Aku urung menutup membuka pintu dan kembali ke kamar.
***
“Apa dia benar-benar buta?" tanyaku pada temanku.
Temanku tersebut memandangku dengan sedikit heran.
“Ya, dia buta. Kenapa kamu bertanya apa dia benar-benar buta? Kamu kira dia bohong? Ya Allah Fira, jangan-jangan kamu sama saja dengan kebanyakan orang yang menganggap semua pengemis itu berbohong?”
“Memang begitu yang banyak kulihat Naya, itu kenapa aku sudah mulai malas memberi sedekah pada mereka. Jangan-jangan mereka hanya modus, pura-pura karena pemalas” ucapku membela diri.
“Astaga Fira, mau bersedekah saja kok su’uzhon sih? Mungkin ada yang seperti itu, namun hal tersebut jangan merusak kebiasaan baikmu untuk bersedekah Fir. Buang jauh-jauh anggapan tersebut. Niatkan saja untuk bersedekah”
“ Tapi Naya, bagaimana kalau mereka sebenarnya berkecukupan, bagaimana kalau sedekah kita salah sasaran?”
“Jika kau fikirkan bagaimana-bagaimana maka akan banyak hal-hal negatif yang terfikirkan Fira. Banyak sekali. Jangankan yang pura-pura yang benar-benar punya cacatpun bisa kamu curigai. Akibatnya? Niat baik bersedekah akan gagal. Kesempatan untuk menabung akhiratpun jadi terlewatkan”
Aku diam saja. Memang sejak anggapan dan persepsi pengemis modus tersebut merasuk di fikiranku,aku memang tidak lagi pernah bersedekah. Ada yang minta sumbangan di angkutan umum untuk keperluan sosial aku curiga jangan-jangan hanya kedok dan uangnya sebenarnya untuk kepentingan pribadi. Ada yang minta sumbangan pembangunan mesjid ataupun bencana alam aku tidak acuh. Jangan-jangan hanya modus. Karena fikiran negatif tersebut akhirnya aku benar-benar tidak pernah lagi bersedekah.
“Bukankah ini punyamu?” Saat aku tertegun Naya mengagetkanku dengan menyodorkan sebuah bundelan kertas padaku. Kertas-kertas itu merupakan makalahku yang sudah kubuang di tempat sampah depan rumah agar dibawa tukang sampah.
“Ya, aku membuangnya pagi ini, kau dapat darimana?” Tanyaku heran.
“Bapak pengemis tadi yang membawanya. Berarti yang dibicarakan pengemis itu adalah kamu Fira, astaga Fira? Apa yang telah kau lakukan padanya?”
“Apa maksudmu Nay?”
“Dia tidak sepenuhnya mengemis Fira. Kau pernah bilang padaku bahwa kau heran tidak pernah ada tukang sampah yang mampir untuk meminta bayaran sampah padamu bukan? Sedangkan setiap pagi tong sampahmu selalu bersih? Dia Fira, pengemis itu yang melakukannya. Dia tidak mengemis sepenuhnya padamu. Dia menjadi tukang sampahmu dan mengambil sedikit upah dari itu. Beberapa hari ini dia bilang tidak mendapatkan apa-apa dan kelaparan.”
Tubuhku gemetar. Dalam kondisi ini justru akulah pemeran antagonisnya. Fikiran su’uzhon benar tersebut benar-benar telah membuat aku menjadi orang jahat. Bapak tersebut bahkan sebenarnya bukanlah pengemis. Dia membersihkan sampahku setiap pagi dan sekalian membawanya ke tempat sampah dan aku hanya memberinya paling banyak dua ribuan untuk itu.
Dari informasi yang kudapat dari orang-orang aku akhirnya juga tahu kalau sebenarnya Bapak tersebut punya seorang anak lumpuh yang harus dihidupinya dirumahnya yang hanya gubuk 2 x 3 meter. Bapak tersebut beberapa kali mencoba bekerja apa saja, baik itu jadi buruh, tukang sapu dan berbagai pekerjaan berat lainnya, namun matanya yang buta dan fisiknya yang sangat lemah tidak memungkinkan.
Jalan sempoyongan Bapak yang kulihat beberapa yang lalu bukan modus. Bapak tersebut juga tidak sedang pura-pura buta. Dia juga bukannya pemalas yang tidak berusaha melakukan pekerjaan lain. Aku saja yang terlalu su’uzhon. Hingga bersedekahpun kutinggalkan. Betapa berdosa dan menyesal diri ini. [HW/Cerpen by Yefra Defita Ningsih]
Aku Dan Sebuah Sesal Teramat Dalam
4/
5
Oleh
Editor