Baca Juga
Kadang kemodernan, kecanggihan, up to date dengan perkembangan zaman dibutuhkan bahkan menjadi ukuran bagi sekelompok orang. Tapi itu tidak mutlak karena sebagian kecanggihan menipu dalam kaca mataku sebagai orang awam. Aku gadis kampung, yang berpendidikan rendah dan tidak terdidik dalam pemahaman agama yang baik ikut tenggelam dalam pengaruh buruk teknologi.
Atas nama gaul, aku membeli semua smartphone terbaru dan mengaktifkan semua aplikasi yang ada. Tak peduli darimana orang tuaku mendapatkan uang, dengan jalan hutang atau mengurangi belanja makan keluarga, yang penting aku memiliki gadget yang canggih.
Tersita Dan Terbuang Percuma
Temanku punya Facebook, aku juga punya. Temanku punya Twitter, aku juga. Instagram, BBM, WA, Line dan masih banyak lagi tidak pernah absen dari hari-hariku. Jika aku tidak on di situ, aku merasa kurang gaul, kurang cerdas dan dianggap kuno. Katanya tidak eksis gitu lho. Alhasil hidupku setiap hari dikendalikan oleh sebuah benda bernama smartphone, tablet dan ipad untuk menurutkan rasa gengsi dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup orang modern.
Setiap pemberitahuan yang masuk selalu mengundang rasa penasaranku. Tengah malam, shubuh, siang dan malam, aku selalu terhubung dengan media sosial. Jika ditotal dalam sehari lumayan juga waktu yang aku habiskan untuk melayani setiap komentar yang masuk. Kadang tidur dan kegiatan dunia nyata lainnya terganggu. Konsentrasiku terpecah karena selalu terhubung online. Aku melakukan itu seperti diluar kesadaran.
Hingga kemudian aku merasa jenuh, sepertinya aku tidak bisa membagi waktu kapan seharusnya aku bersilaturahmi di dunia online.Aku kemudian mulai belajar membagi waktu dan menonaktifkan sebagian notifikasi, aku berhasil memanage waktuku.
Beberapa Hal Berharga Milikku Ternyata Telah Hilang
Kini aku sudah tidak terlalu ketergantungan lagi secara psikologis dengan kabar berita di semua media sosial. Aku membukanya kapan merasa ingin buka sesekali saja. Waktuku lebih banyak aku habiskan untuk kegiatan di dunia nyata. Tak peduli lagi aku dianggap kampungan, tidak gaul, katrok, ndeso dan lainnya. Aku sudah tidak eksis tapi justru itu membuat aku merasa lebih tenang karena berhasil menaklukkan keinginanku sendiri yang tidak begitu banyak mendatangkan manfaat padaku.
Namun, ternyata ada hal yang lebih penting dari sekedar pembagian waktu bersosial di dunia maya. Jika sebelumnya aku merasa berbagai aplikasi telah menyita sebagian besar waktuku, kini aku baru sadar kalau aku juga telah kehilangan hal berharga yang kumiliki.
Pertama, pahala ibadah dan amalku.
Dahulu, masa awal dan gila-gilanya aku dengan aplikasi media sosial sebagai sesuatu yang baru, aku seperti tidak terkontrol. Apa yang terasa aku sampaikan bahkan tanpa sadar juga ibadah-ibadahku. Secara tidak langsung aku telah terjebak dalam sifat riya, meskipun tidak berniat memamerkan pada khalayak tapi aku telah memperlihatkan secara terang-terangan.
Aku merasa amal dan ibadahku sudah kurang nilainya dan hilang karena aku publikasikan di media sosial. Niatku juga kabur, untuk apa aku posting kalau tidak untuk memberitahu orang. Ketika aku melakukan kebaikan, aku mempostingnya dan jujur aku memang menunggu tanggapan dari orang lain. Berharap mendapat komentar pujian.
Ketika aku puasa, shalat, aku akan melapor terlebih dahulu di media sosial. Parahnya lagi ketika aku berhasil meraih sesuatu aku juga membagikannya, mungkin sedikit bercampur rasa ingin menunjukkan diri sendiri. Aku sering melihat orang memposting foto naik haji, umrah, mengaji dan sebagainya sehingga aku merasa mengabarkan ibadah menjadi sesuatu yang biasa.
Kadang seperti berlomba dengan teman-teman almamater sekolahku. Seakan sahut menyahut memberitahu dunia tentang informasi dan kemajuan terbaru diriku. Bahwa aku tidak kalah dengan mereka setelah sekian tahun tamat sekolah. Kurang lebih seperti ajang pamer.
Kedua, uang yang dikasih kedua orang tua habis tidak bermanfaat
Setelah aku pikir ulang, memang internet di zaman sekarang adalah kebutuhan. Namun, baru aku sadar bahwa memanfaatkan uang membeli paket internet hanya untuk memposting di macam-macam jejaring media sosial terpopuler rasanya rugi.
Aku melihat orang lain dengan kuota internet yang sama mereka bisa menghasilkan uang atau paling tidak mereka berkarya seperti berdakwah, menulis, desain dan sebagainya. Mereka tetap bermedia sosial tapi mereka produktif. Lantas aku?seperti orang yang banyak uang dan membuang-buangnya hanya untuk bisa eksis. Seperti orang yang banyak waktu dan kurang kerjaan.
Aku Ingin Bermedia Sosial Seperti Orang Terdidik
Kini, aku hanya sering membuka beberapa aplikasi yang memang jelas fungsinya untuk memudahkan komunikasi dan silaturahmi. Sementara, aplikasi tertentu sudah mulai aku batasi penggunaannya. Begitu juga, aku memperjelas penggunaan paket internetku pada hal yang bernilai guna.
Selama ini mungkin karena ilmuku yang kurang dan juga keterbatasanku, begitu sulit bagiku menjaga hatiku ketika bermedia sosial. Satu waktu aku bisa mengontrol agar tidak riya, tidak menunjukkan diri tapi di lain waktu aku lupa lagi.
Katanya media sosial dan internet bagaikan pisau bermata dua. Memiliki dampak positif dan negatif, baik dan buruk. Satu sisi bermanfaat dan sisi lain pengaruh media sosial justru seperti melukai. Mungkin mereka yang berpendidikan hanya menggunakan media sosial untuk berbagi informasi yang bermanfat saja. Mereka memakai smartphone, tablet dan ipad bukan sekedar gaya-gayaan sepertiku tapi ada nilai tambah yang mereka hasilkan dengan teknologi. Teknologi membuat mereka lebih produktif dan mencapai efisiensi. Bukan sekedar konsumsi tidak berarti dan gengsi tingkat tinggi.
Kurasa itulah bedanya denganku.Orang terdidik sepertinya memanfaatkan media sosial untuk hal yang berguna tapi orang yang kurang terdidik sepertiku malah dimanfaatkan dan diperbudak oleh media sosial untuk tetek bengek yang tidak berguna. Aku malah terbelenggu akibat kecanduan dan ketagihan media sosial.
Kini bagiku sesuatu yang canggih tidak lagi sebagai pembangga bahwa aku mendapat predikat gaul dan eksis oleh teman-temanku. Aku ingin seperti orang terdidik, yang memperbudak teknologi bukan diperbudak teknologi. Aku ingin seperti mereka yang menghasilkan karya dengan internet, bukan menghabiskan kuota untuk cuap-cuap bernilai kosong. Aku ingin mengendalikan teknologi dalam hidupku seperti mereka yang terdidik. [ HW/ Elshabrina ]
Atas nama gaul, aku membeli semua smartphone terbaru dan mengaktifkan semua aplikasi yang ada. Tak peduli darimana orang tuaku mendapatkan uang, dengan jalan hutang atau mengurangi belanja makan keluarga, yang penting aku memiliki gadget yang canggih.
Tersita Dan Terbuang Percuma
Temanku punya Facebook, aku juga punya. Temanku punya Twitter, aku juga. Instagram, BBM, WA, Line dan masih banyak lagi tidak pernah absen dari hari-hariku. Jika aku tidak on di situ, aku merasa kurang gaul, kurang cerdas dan dianggap kuno. Katanya tidak eksis gitu lho. Alhasil hidupku setiap hari dikendalikan oleh sebuah benda bernama smartphone, tablet dan ipad untuk menurutkan rasa gengsi dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup orang modern.
Setiap pemberitahuan yang masuk selalu mengundang rasa penasaranku. Tengah malam, shubuh, siang dan malam, aku selalu terhubung dengan media sosial. Jika ditotal dalam sehari lumayan juga waktu yang aku habiskan untuk melayani setiap komentar yang masuk. Kadang tidur dan kegiatan dunia nyata lainnya terganggu. Konsentrasiku terpecah karena selalu terhubung online. Aku melakukan itu seperti diluar kesadaran.
Hingga kemudian aku merasa jenuh, sepertinya aku tidak bisa membagi waktu kapan seharusnya aku bersilaturahmi di dunia online.Aku kemudian mulai belajar membagi waktu dan menonaktifkan sebagian notifikasi, aku berhasil memanage waktuku.
Beberapa Hal Berharga Milikku Ternyata Telah Hilang
Kini aku sudah tidak terlalu ketergantungan lagi secara psikologis dengan kabar berita di semua media sosial. Aku membukanya kapan merasa ingin buka sesekali saja. Waktuku lebih banyak aku habiskan untuk kegiatan di dunia nyata. Tak peduli lagi aku dianggap kampungan, tidak gaul, katrok, ndeso dan lainnya. Aku sudah tidak eksis tapi justru itu membuat aku merasa lebih tenang karena berhasil menaklukkan keinginanku sendiri yang tidak begitu banyak mendatangkan manfaat padaku.
Namun, ternyata ada hal yang lebih penting dari sekedar pembagian waktu bersosial di dunia maya. Jika sebelumnya aku merasa berbagai aplikasi telah menyita sebagian besar waktuku, kini aku baru sadar kalau aku juga telah kehilangan hal berharga yang kumiliki.
Pertama, pahala ibadah dan amalku.
Dahulu, masa awal dan gila-gilanya aku dengan aplikasi media sosial sebagai sesuatu yang baru, aku seperti tidak terkontrol. Apa yang terasa aku sampaikan bahkan tanpa sadar juga ibadah-ibadahku. Secara tidak langsung aku telah terjebak dalam sifat riya, meskipun tidak berniat memamerkan pada khalayak tapi aku telah memperlihatkan secara terang-terangan.
Aku merasa amal dan ibadahku sudah kurang nilainya dan hilang karena aku publikasikan di media sosial. Niatku juga kabur, untuk apa aku posting kalau tidak untuk memberitahu orang. Ketika aku melakukan kebaikan, aku mempostingnya dan jujur aku memang menunggu tanggapan dari orang lain. Berharap mendapat komentar pujian.
Ketika aku puasa, shalat, aku akan melapor terlebih dahulu di media sosial. Parahnya lagi ketika aku berhasil meraih sesuatu aku juga membagikannya, mungkin sedikit bercampur rasa ingin menunjukkan diri sendiri. Aku sering melihat orang memposting foto naik haji, umrah, mengaji dan sebagainya sehingga aku merasa mengabarkan ibadah menjadi sesuatu yang biasa.
Kadang seperti berlomba dengan teman-teman almamater sekolahku. Seakan sahut menyahut memberitahu dunia tentang informasi dan kemajuan terbaru diriku. Bahwa aku tidak kalah dengan mereka setelah sekian tahun tamat sekolah. Kurang lebih seperti ajang pamer.
Kedua, uang yang dikasih kedua orang tua habis tidak bermanfaat
Setelah aku pikir ulang, memang internet di zaman sekarang adalah kebutuhan. Namun, baru aku sadar bahwa memanfaatkan uang membeli paket internet hanya untuk memposting di macam-macam jejaring media sosial terpopuler rasanya rugi.
Aku melihat orang lain dengan kuota internet yang sama mereka bisa menghasilkan uang atau paling tidak mereka berkarya seperti berdakwah, menulis, desain dan sebagainya. Mereka tetap bermedia sosial tapi mereka produktif. Lantas aku?seperti orang yang banyak uang dan membuang-buangnya hanya untuk bisa eksis. Seperti orang yang banyak waktu dan kurang kerjaan.
Aku Ingin Bermedia Sosial Seperti Orang Terdidik
Kini, aku hanya sering membuka beberapa aplikasi yang memang jelas fungsinya untuk memudahkan komunikasi dan silaturahmi. Sementara, aplikasi tertentu sudah mulai aku batasi penggunaannya. Begitu juga, aku memperjelas penggunaan paket internetku pada hal yang bernilai guna.
Selama ini mungkin karena ilmuku yang kurang dan juga keterbatasanku, begitu sulit bagiku menjaga hatiku ketika bermedia sosial. Satu waktu aku bisa mengontrol agar tidak riya, tidak menunjukkan diri tapi di lain waktu aku lupa lagi.
Katanya media sosial dan internet bagaikan pisau bermata dua. Memiliki dampak positif dan negatif, baik dan buruk. Satu sisi bermanfaat dan sisi lain pengaruh media sosial justru seperti melukai. Mungkin mereka yang berpendidikan hanya menggunakan media sosial untuk berbagi informasi yang bermanfat saja. Mereka memakai smartphone, tablet dan ipad bukan sekedar gaya-gayaan sepertiku tapi ada nilai tambah yang mereka hasilkan dengan teknologi. Teknologi membuat mereka lebih produktif dan mencapai efisiensi. Bukan sekedar konsumsi tidak berarti dan gengsi tingkat tinggi.
Kurasa itulah bedanya denganku.Orang terdidik sepertinya memanfaatkan media sosial untuk hal yang berguna tapi orang yang kurang terdidik sepertiku malah dimanfaatkan dan diperbudak oleh media sosial untuk tetek bengek yang tidak berguna. Aku malah terbelenggu akibat kecanduan dan ketagihan media sosial.
Kini bagiku sesuatu yang canggih tidak lagi sebagai pembangga bahwa aku mendapat predikat gaul dan eksis oleh teman-temanku. Aku ingin seperti orang terdidik, yang memperbudak teknologi bukan diperbudak teknologi. Aku ingin seperti mereka yang menghasilkan karya dengan internet, bukan menghabiskan kuota untuk cuap-cuap bernilai kosong. Aku ingin mengendalikan teknologi dalam hidupku seperti mereka yang terdidik. [ HW/ Elshabrina ]
Tanpa Kusadari, Beberapa Hal Berharga Kumiliki Ludes Habis di Media Sosial
4/
5
Oleh
Editor